Oleh: Mukhlishoh
Kisah ini terjadi tiga tahun silam. Ini kisah korban perasaan dan sebuah kepatuhan pada sang ibu. Selama kisah ini berlangsung aku hampir selalu di sisinya. Kala itu, di kamar pondok, kulihat amplop merah muda di tangannya belum dibuka sedari pagi. Masih saja Naura tak mampu untuk membukanya. Ia takut jika isi amplop itu adalah permintaan pulang dari ibu. “Naura masih betah di pondok. Naura ingin menuntut ilmu agama lebih dalam lagi.”. Kupaksa dia untuk membukanya agar semua jelas.
Dugaannya tepat. Surat yang ia terima adalah permintaan pulang dari ibu sekaligus lamaran dari laki-laki yang selama ini ia benci karena terkenal playboy. Naura hanya bisa diam terpaku menatap langit gelap tanpa kerlingan cahaya bintang. Langit yang mendung sedari sore kini telah mengeluarkan luhnya mengiringi hatinya yang gerimis. Ia bimbang.
Baru kemarin sore ia dipanggil oleh Ibu Nyai untuk menerima lamaran seorang ustadz alumni pondok besar Jawa Timur. Belum sempat ia mengiyakan permintaan Ibu Nyai, ibu kandungnya membuat permintaan serupa. Ia sering curhat padaku kalau sedari remaja ia bercita-cita ingin mempunyai suami santri. Namun, sekarang pilihan ibu kandungnya hanya seorang biasa, dan pilihan dari Ibu Nyai adalah seorang anak kiai yang menyandang gelar santri. Ia bingung harus memilih Ibu Nyai atau ibu kandungnya. Naura bingung harus berkata apa. Apakah ia harus menyakiti Ibu Nyai yang telah begitu baik padanya, atau ia harus mengecewakan ibu kandungnya yang telah berjuang melahirkannya. Ia takut ibunya akan marah. Namun, ia juga lebih takut kalau sang guru kecewa dan ilmunya akan sia-sia. Aku minta dia untuk pulang dahulu ke rumah, siapa tau di rumah Allah akan memberi titik terang.
Setelah dua hari ia memutuskan untuk pulang. Aku diajak ikut ke rumahnya. Melihat Naura yang tengah bimbang aku tak bisa menolak. Sesampainya di rumah, ibunya yang sedari pagi menunggu di ruang tamu menyambutnya dengan pertanyaan yang sangat berat bagi Naura. Ia hanya mencium tangan ibunya dan berlari masuk kamar. Ibunya pun menangis melihat anak yang selama ini paling sopan pada orang tuanya, kini bersikap seperti itu. Aku tak tega melihat ibunya menangis. Kuminta Naura untuk meminta maaf pada ibunya. Naura segera keluar kamar dan meminta maaf pada ibunya. Ibunya memaafkannya dan meminta Naura untuk tidak mengulangi. Naura meminta pada ibunya agar pernikahannya dengan Mas Mukti dibatalkan. Namun, ibunya kembali sedih dan masuk kamar. Naura semakin bimbang. Saat itu aku hanya bisa berdoa semoga Allah cepat memberi petunjuk.
Di sepertiga malam, Naura seakan menemukan jawaban atas kebimbangannya. Rumah seorang kiai muncul di depannya, saat dzikir ia lafadzkan dengan khusyu’. Ia bercerita dengan penuh semangat padaku. Aku ikut senang. Lalu, keesokan harinya kami menuju rumah Kiai Badrudin, kakak dari nenek Naura untuk meminta wejangan dari beliau. Kiai Badrudin hanya menjawab dua kata yang singkat, jelas, dan menusuk hati. “Patuhilah ibumu”. Dengan cepat Naura menjawab, tapi saya tidak mencintai Mas Mukti. Kiai Badrudin menjawab dengan tenang. “Perlahan kamu pasti bisa. Mukti orang yang baik, walau dia bukan santri”.
Terkejut Naura mendengar jawaban dari Kiai Badrudin. Beliau tau semua tentang Naura, padahal Naura belum memberitahukannya. Karena Kiai Badrudin mau pergi, kami ijin pulang. Di perjalanan aku mencoba menasehatinya, “Mungkin memang benar, kamu harus patuh pada ibu yang telah melahirkanmu. Karena surga ada di telapak kaki Ibu.”.
Sebulan sesudah pernikahannya dengan Mas Mukti, Naura berkunjung ke pondok dan dia curhat padaku kalau ternyata Mas Mukti yang selama ini dia kira playboy, dia teramat setia dan baik hati. Akhlaknya melebihi santri pada umumnya. Dia tak pernah berkata kasar, dan selalu berusaha izin jika ingin pergi. Kini cinta tumbuh di hati Naura. Memang benar apa kata pepatah. Kalau tak kenal maka tak sayang. Dalam hal apapun. Bahkan pada negeri sendiri pun, jika tak kenal maka tak sayang. Tak sayang maka tak mau berjuang. Mendengar perkataanku, Naura tertawa sambil mengacungkan dua jempol.