Sejarah Desa Troso tidak dapat di pisahkan dari peristiwa peperangan antara Sultan Hadirin dengan Arya Penangsang yang terjadi di sebuah daerah di Kabupaten Kudus. Pada peperangan tersebut Sultan Hadirin terbunuh oleh Arya Panangsang. Sultan Hadirin merupakan suami dari Ratu Kaliyamat adipati Jepara. Selanjutnya, jenazah Sultan Hadirin dibawa dari Kudus ke Jepara dengan cara dipikul oleh orang (Pengikutnya).
Singkat cerita, ketika para pemikul jenazah sampai di suatu tempat, mereka telah menghirup bau yang busuk, dalam bahasa jawa berarti “Purwo” yang berarti permulaan dan “Gondo” yang berarti bau busuk. Sehingga daerah tersebut sekarang di beri nama Desa Purwogondo. Sesampainya di Pecangaan para pemikul jenazah tersebut sudah sangat lelah, namun karena itu menjadi suatu pengabdian kepada Pupundennya (Orang yang sangat di hormati) hal tersebut tetap di laksanakan.
Suatu tempat dimana para pemikul jenazah merasakan kelelahan tersebut yang kemudian di beri nama Troso, dari kata awal terasa (Terasa lelah). Selanjutnya disebelah barat daerah tersebut para pemikul teringat dengan pengabdian yang harus dilaksanakan sehingga sekarang dinamakan desa Ngeling, yang berasal dari kata eling (ingat).
Selanjutnya, desa Troso pertama kali ditempati oleh mbah Senu/Ki Senu, yang sekarang makamnya berada di makan dhowo tepatnya disebelah selatan pemakaman umum Nogosari, atau orang desa Troso sering menyebut di bawah pohon randu alas.
Sedangkan untuk penyebaran agama Islan di desa Troso, kono dibawa oleh seorang ulama’ dan wali Allah dari timur tengah yang bernama mbah Datuk Gunardi Singaraja. Beliau menyebarkan ajarang agama Islam di pulau Bali tepatnya di daerah Singaraja. Kemudian beliau hijrah dari Bali ke Pulau Jawa melewati jalur laut dan masuk di pantai Jepara. Awal mulai masuk di daerah Jepara, mbah datuk terlebih dahulu menyiarkan ajarang agama Islam di Desa Kerso, kecamatan Kedung. Di desa Kerso beliu memperkenalkan agama Islam kepada penduduk setempat, hal tersebut dibuktikan dengan adanya masjid Wali yang ada di desa tersebut.
Setelah itu, mbah Datuk kembali menyebarkan agama islam di Troso. Seperti halnya di Kerso, mbah Datuk di Troso juga membangun sebuah masjid besar yang sekarang dikenal dengan nama Masjid Datuk Ampel. Setelah itu, beliau melanjutkan dakwah dan sayembaranya menyebarkan agama Islam ke daerah Mayong, hingga beliu wafat disuatu desa di Kecamatan Mayong, yang akhirnya desa tersebut diberi nama desa Singaraja. Menurut masyarakat desa Troso, kerso dan Singaraja beliau di berikan sebuah sebutan “Gunardi” yang berarti orang yang memanggil-manggil atau guru ngaji.
Setiap tahun tepatnya Jum’at Wage setiap bulan Muharram, masyarakat Troso, Kerso dan Singaraja serta daerah sekelilingnya tanpa dikoordinasi selalu melakukan haul. Hal tersebut merupakan suatu wujud balas budi terhadap mbah datuk yang telah menyebarkan agama Islam.
Di Troso sendiri, penyebaran agama dimulai dari daeran sebelah selatan, dan pada waktu itu disebelah Utara masih hutan. Sehingga sampai sekarang orang yang berada di sebelah utara masih disebut sebagai orang ngalas.
Singkat cerita, ketika para pemikul jenazah sampai di suatu tempat, mereka telah menghirup bau yang busuk, dalam bahasa jawa berarti “Purwo” yang berarti permulaan dan “Gondo” yang berarti bau busuk. Sehingga daerah tersebut sekarang di beri nama Desa Purwogondo. Sesampainya di Pecangaan para pemikul jenazah tersebut sudah sangat lelah, namun karena itu menjadi suatu pengabdian kepada Pupundennya (Orang yang sangat di hormati) hal tersebut tetap di laksanakan.
Suatu tempat dimana para pemikul jenazah merasakan kelelahan tersebut yang kemudian di beri nama Troso, dari kata awal terasa (Terasa lelah). Selanjutnya disebelah barat daerah tersebut para pemikul teringat dengan pengabdian yang harus dilaksanakan sehingga sekarang dinamakan desa Ngeling, yang berasal dari kata eling (ingat).
Selanjutnya, desa Troso pertama kali ditempati oleh mbah Senu/Ki Senu, yang sekarang makamnya berada di makan dhowo tepatnya disebelah selatan pemakaman umum Nogosari, atau orang desa Troso sering menyebut di bawah pohon randu alas.
Sedangkan untuk penyebaran agama Islan di desa Troso, kono dibawa oleh seorang ulama’ dan wali Allah dari timur tengah yang bernama mbah Datuk Gunardi Singaraja. Beliau menyebarkan ajarang agama Islam di pulau Bali tepatnya di daerah Singaraja. Kemudian beliau hijrah dari Bali ke Pulau Jawa melewati jalur laut dan masuk di pantai Jepara. Awal mulai masuk di daerah Jepara, mbah datuk terlebih dahulu menyiarkan ajarang agama Islam di Desa Kerso, kecamatan Kedung. Di desa Kerso beliu memperkenalkan agama Islam kepada penduduk setempat, hal tersebut dibuktikan dengan adanya masjid Wali yang ada di desa tersebut.
Setelah itu, mbah Datuk kembali menyebarkan agama islam di Troso. Seperti halnya di Kerso, mbah Datuk di Troso juga membangun sebuah masjid besar yang sekarang dikenal dengan nama Masjid Datuk Ampel. Setelah itu, beliau melanjutkan dakwah dan sayembaranya menyebarkan agama Islam ke daerah Mayong, hingga beliu wafat disuatu desa di Kecamatan Mayong, yang akhirnya desa tersebut diberi nama desa Singaraja. Menurut masyarakat desa Troso, kerso dan Singaraja beliau di berikan sebuah sebutan “Gunardi” yang berarti orang yang memanggil-manggil atau guru ngaji.
Setiap tahun tepatnya Jum’at Wage setiap bulan Muharram, masyarakat Troso, Kerso dan Singaraja serta daerah sekelilingnya tanpa dikoordinasi selalu melakukan haul. Hal tersebut merupakan suatu wujud balas budi terhadap mbah datuk yang telah menyebarkan agama Islam.
Di Troso sendiri, penyebaran agama dimulai dari daeran sebelah selatan, dan pada waktu itu disebelah Utara masih hutan. Sehingga sampai sekarang orang yang berada di sebelah utara masih disebut sebagai orang ngalas.